Rupiah Melemah Diperkirakan Hingga 2020
Rupiah Melemah Diperkirakan Hingga 2020. Dampak gejolak pasar keuangan global yang terus menekan nilai tukar
rupiah diperkirakan akan terjadi hingga 2020. Dampak itu akan berakhir
ketika Bank Sentral AS The Federal Reserve yang memproduksi dolar AS,
menyelesaikan normalisasi kebijakan moneternya.
Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi mengatakan meskipun gejolak terhadap rupiah masih akan membayangi hingga dua tahun mendatang, tekanannya tidak akan sebesar tahun 2018 ini. “The Fed masih punya rencana naikkan suku bunga hingga 2020, tapi kan laju kenaikannya sudah berkurang, dan The Fed juga janji normalisasi balance sheet (neraca) akan terukur,” ucap Doddy.
Tekanan terhadap rupiah di dua tahun mendatang akan mereda karena menurunnya dosis kenaikan suku bunga acuan The Fed, dan ekses likuiditas di pasar global karena bertahapnya pengurangan neraca (balance sheet) The Fed. Pembicaraan dalam rapat The Fed beberapa waktu sebelumnya menyimpulkan bahwa kenaikan suku bunga acuan masih akan terjadi hingga 2020.
Konsensus pasar meyakini The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 2-3 kali tahun depan, dari empat kali tahun ini. “Hal itu ditambah dengan komunikasi yang transaparan dan terprediksi, sesuai janji The Fed, jadi membuat pasar sudah price in (menyesuaikan). Dengan demikian, gejolak di pasar keuangan global tidak seberat seperti ini,” imbuh Doddy dalam sebuah diskusi.
Maka itu, ujar Doddy, perbaikan neraca transaksi berjalan memang harus segera dilakukan. Salah satu caranya dengan menurunkan laju impor yang telah memboroskan devisa.
Bank Sentral meyakini kebijakan penurunan impor oleh pemerintah, seperti dengan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Impor terhadap lebih dari 1.000 komoditas, juga penerapan kewajiban bahan bakar solar bercampur minyak kepala sawit (B20) akan mengurangi defisit transaksi berjalan pada 2019 dan 2020.
Dengan perbaikan defisit transaksi berjalan, tekanan terhadap rupiah akibat gejolak eskternal dapat berkurang.
Bank Sentral menargetkan defisit transaksi berjalan di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir 2018. Hingga Juli 2018, defisit transaksi berjalan sebesar 3,04 persen PDB.
Sementara untuk pergerakkan nilai tukar rupiah, hasil sementara perundingan antara Badan Anggaran DPR dan pemerintah, asumsi pergerakkan nilai tukar secara rata-rata pada 2019 sebesar Rp 14.500 per dolar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi mengatakan meskipun gejolak terhadap rupiah masih akan membayangi hingga dua tahun mendatang, tekanannya tidak akan sebesar tahun 2018 ini. “The Fed masih punya rencana naikkan suku bunga hingga 2020, tapi kan laju kenaikannya sudah berkurang, dan The Fed juga janji normalisasi balance sheet (neraca) akan terukur,” ucap Doddy.
Tekanan terhadap rupiah di dua tahun mendatang akan mereda karena menurunnya dosis kenaikan suku bunga acuan The Fed, dan ekses likuiditas di pasar global karena bertahapnya pengurangan neraca (balance sheet) The Fed. Pembicaraan dalam rapat The Fed beberapa waktu sebelumnya menyimpulkan bahwa kenaikan suku bunga acuan masih akan terjadi hingga 2020.
Konsensus pasar meyakini The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 2-3 kali tahun depan, dari empat kali tahun ini. “Hal itu ditambah dengan komunikasi yang transaparan dan terprediksi, sesuai janji The Fed, jadi membuat pasar sudah price in (menyesuaikan). Dengan demikian, gejolak di pasar keuangan global tidak seberat seperti ini,” imbuh Doddy dalam sebuah diskusi.
Maka itu, ujar Doddy, perbaikan neraca transaksi berjalan memang harus segera dilakukan. Salah satu caranya dengan menurunkan laju impor yang telah memboroskan devisa.
Bank Sentral meyakini kebijakan penurunan impor oleh pemerintah, seperti dengan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Impor terhadap lebih dari 1.000 komoditas, juga penerapan kewajiban bahan bakar solar bercampur minyak kepala sawit (B20) akan mengurangi defisit transaksi berjalan pada 2019 dan 2020.
Dengan perbaikan defisit transaksi berjalan, tekanan terhadap rupiah akibat gejolak eskternal dapat berkurang.
Bank Sentral menargetkan defisit transaksi berjalan di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir 2018. Hingga Juli 2018, defisit transaksi berjalan sebesar 3,04 persen PDB.
Sementara untuk pergerakkan nilai tukar rupiah, hasil sementara perundingan antara Badan Anggaran DPR dan pemerintah, asumsi pergerakkan nilai tukar secara rata-rata pada 2019 sebesar Rp 14.500 per dolar AS.
Comments
Post a Comment